CERPEN: UTARI oleh Zura W Zulkarnain

Ia adalah sayap kupu-kupu…

Utari mungkin kupu-kupu paling luar biasa. Sebab ia mampu membentangkan sayap seluas-luasnya di atas kecaman, angin badai dan pada apa saja yang dapat mendahului takdirnya. Kupu-kupu yang senang meleha-leha dan terbang di malam hari tapi ia bukan kupu-kupu malam. Kejam jika menganggapnya iya. Utari hanya sedang bermain. Memilih melerai rusuh dalam hatinya yang berantakan dengan menari. Ia terlalu lincah bila sedang menari. Utari menyukai banyak lagu, tapi dia terlalu senang pada “La Vie En Rose”. Lagu paling romantis yang pernah ia dengar. Lagu yang pertama kali diciptakan oleh seorang penyanyi wanita Prancis Edith Piaf dalam bahasa Prancis pada tahun 1945.

"La Vie En Rose" dalam bahasa Inggris berarti "Life in Rosy Hues" dan dalam bahasa Indonesia diartikan dengan "Hidup dalam warna yang cerah". Lirik dalam bahasa Inggris lagu ini ditulis oleh Mack David and Frank Eyton. Tahun 2008 Louis Armstrong menyanyikannya sebagai sountrack film Wall-E. Louis merupakan salah satu orang yang berpengaruh di dunia jazz. Alasannya jelas, karena siapapun yang mendengar lagu ini akan jatuh cinta. Liukan tubuh Utari apabila menari menjelaskan bahwa dia adalah perempuan yang anggun, penuh dengan perhitungan dan keyakinan. Dalam kepalanya tak pernah ada pikiran sejauh mana dia terbang untuk melampui semua batas-batas hidup. Tanpa beban. 

Suatu pagi entah dari mana asal mulanya. Aku dan Utari duduk bersama di beranda sepanjang tepian laut pantai Padang. Biru langit menjelang pagi adalah pandangan paling mendamaikan selain senja. Orang-orang akan berlarian ke pantai dan berlomba-lomba paling mencintai senja tapi kami memilih untuk tidak bersaing dengan siapapun. Karena pagi hari yang biru seperti ini begitu original, khas dan aromanya belum bercampur dengan segala jenis bau dunia. Utari bilang dia lebih mencintai pagi. Sebab orang yang terbangun di pagi hari adalah orang mendapat berkah berlebih dari Tuhan. Tapi jelas bukan begitu, maksudku Utari selalu sengaja tidak tidur agar dia bisa bertemu pagi. Setelahnya dia akan tidur sampai ia melewatkan senja. Baginya siang hari hanyalah hiruk pikuk tanpa arti. Kebosanan yang membingungkan.

Aku melihat caranya memperhatikan pagi. Utari seperti sedang jatuh cinta, kedua kalinya. Ia jauh lebih biru dari langit pagi. Lebih terang dan lebih bersahaja. Aku sedang menebak, barangkali hati Utari terbuat dari bianglala pagi hari. Wajah yang hampir tak pernah terlihat bersedih, murung atau mengumpati nasib-nasib yang tumbuh di sekujur tubuhnya. Utari menyiraminya setiap pagi, mungkin justru karena itu bukan jelaga yang tumbuh tapi bunga.  Di antara semua yang ada di wajahnya, bibirnya adalah yang paling pucat. Entah Utari sedang tidak enak badan atau memang karena warna kulitnya yang terlalu putih. 

Aku tak pernah bertanya, biasanya Utari akan mengoceh dengan sendirinya. Ia akan mulai bercerita bagaimana dia kesini, apa yang dia lihat, apa yang sedang dia rasakan kemudian sampai kemana-mana. Suatu kali aku pernah ingin bercerita padanya, tapi kemampuannya bercerita lebih menarik dari pada cerita yang ingin aku ceritakan. Bila Utari bercerita, sejenak mataku seperti disihir untuk menyaksikan setiap rekaan adegan dari ceritanya. Utari seperti lembaran-lembaran cerpen. Dan aku mendadak gagap duduk di samping Utari yang sekarang. Tidak tahu bagaimana cara memulai untuk bertanya. 

“kamu pucat” dengan nada yang sangat pelan dan berharap dia tak mendengarnya.

Lalu Utari tersenyum. Ia baru saja selesai dengan malam-malam yang membawanya terbang sekehendak hati dan mabuk. Utari selalu saja mabuk. Tapi tak pernah sedingin ini. Aku ingin bertanya tapi Utari cepat-cepat mengangkat telunjuk ke mulutnya memintaku diam. Aku membiarkannya menikmati apa yang ingin dia nikmati sendiri. Dan dia bercerita.

Utari bilang aku harus percaya pada Neptunus. Katanya Neptunus bisa mendengarkan nyanyian perempuan yang sedang putus asa. Jika beruntung Neptunus akan mengirimimu seekor siren. Utari mebuatku berada dalam dongeng-dongeng yang ia ciptakan sendiri. Awalnya aku selalu memilih mendengarkan dan menemani imajinya, selagi itu menyenangkan. Utari bilang siren itu seperti duyung tapi mereka bisa berubah menjadi manusia bila ada manusia lain yang mau menggantikannya. Semacam saling memberi kehidupan baru. Jadi ketika kamu bersedih datanglah ke tepian pantai di pagi hari. Lalu berceritalah. Kira-kira begitu katanya.

Kesunyian pantai akan mengantarkan suara-suara kesedihanmu sampai pada Neptunus. Utari percaya bahwa Neptunus akan mengirimkan seekor siren untuknya. Katanya,  ia akan meminta siren itu menjadi teman. Membawanya mengarungi laut lepas, melihat dunia dalam laut tanpa sesak nafas. Dan jika diizinkan, ia akan meminta siren dalam wujud laki-laki.

 Jika siren yang diceritakannya benar-benar adalah seekor siren, seperti dalam mitologi maka sudah jelas siren itu akan meminta kehidupan Utari dan memintanya bergantian tempat. Artinya Utari sengaja membiarkanku menebak bahwa ia ingin sekali jadi siren dan membiarkan kehidupannya sebagai manusia diambil oleh siren itu. Ia lebih memilih hidup dalam palung laut, terasing sendirian, tanpa suara apa-apa. Utari memang membingungkan tapi aku mencintainya seperti mencintai diriku sendiri. Tapi cinta seperti ini tidak akan aku biarkan. Utari harus tahu, bahwa aku benci padanya yang selalu membuat dirinya seperti tokoh dongeng mitologi dengan kepercayaan-kepercayaan yang sengaja dibuat-buat atau bagi mereka memang benar. Akan aku tunjukkan bahwa segala jenis dongeng yang ada di Minangkabau ini jauh lebih berkesan dari pada Neptunus. Jika ia ingin selalu membunuh dirinya lewat dongeng-dongeng mitologi, biar aku dongengkan dan bunuh dengan dongeng negeri sendiri.

“kau tau kalau di Ngarai Sianok dulu ada ular besar?” aku bersemangat dan memotong adegan dongengnya.

Utari diam saja, tapi aku tahu dia ingin mendengarkan ceritaku. 

Dulu ibu senang mendongeng saat sedang menikmati hujan di beranda rumah. Ibu bilang di Ngarai Sianok ada ular besar, tapi karena itu Ngarai, ular itu tidak bisa melata ke atas tebing. Kabarnya, ada seorang perempuan yang meloncat bunuh diri di sana dan tak ada seorangpun yang mau mencari jasadnya ke bawah. Aku bertanya pada ibu, bagaimana jika perempuan itu ternyata tidak mati. Lalu aku katakan pada Utari, bahwa sebenarnya perempuan itu memang tidak mati. Ia sengaja melompatkan diri ke jurang itu untuk bertemu dengan sang ular. Agar ular itu mau menjadikannya teman. Perempuan itu berfikir bahwa tentu saja hidup sendirian di dalam ngarai adalah sesuatu yang membosankan. Maka ia sangat ingin menjadi teman ular besar itu. 

Utari memperhatikan diriku yang gagu dalam bercerita, ia memandangiku seolah aku tak pandai mendongeng dan merangkainya. Terlalu dibuat-buat. Aku bilang padanya, ular besar itu ternyata tidak kejam. Saat perempuan itu melompat ke jurang dan tersadar, ia bahkan tidak menemukan satu ekor ularpun. Ia hanya menemukan sebuah rumah dengan semua ornamen dan apa saja dengan  warna kuning. Di dalamnya banyak sekali makanan. Di sekitar rumah itu terdapat banyak sekali binatang peliharaan. Ia bertemu seorang perempuan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Seperti dongeng-dongeng yang lain, tentu saja aku katakan pada Utari bahwa perempuan yang ada di dalam ngarai itu sangat cantik. Bajunya terbuat dari sutera paling bagus yang pernah ada dan tentu saja berwarna kuning. Matanya seperti mata ibu memanggil pulang. Ia memakai hiasan kepala seperti seorang putri, tapi putri Minangkabau. 

Putri  itu berbicara dengan badendang. Ia seperti seorang gurindam yang mengiringi tari dan langkah pesilat dalam randai. Suaranya sangat merdu. Cengkok minangnya adalah yang paling terbaik. Perempuan itu seperti tersihir oleh semua yang dilihatnya. Ia tak pernah ingat bahwa ia harus kembali dan meninggalkan ibunya sendirian. Aku juga katakan pada Utari, bahwa di Minangkabau ini, anak yang durhaka pada orangtuanya akan dikutuk jadi batu seperti Malin Kundang dan aku punya bukti. 

Utari berdiri menuju pantai. Ia seolah tak ingin mendengar dongeng ini dariku atau mungkin dongeng ini terlalu hambar karena memang sengaja aku karang dan aku bukan orang yang pandai mengarang. Dongeng yang aku ceritakan bahkan tak semenarik Neptunus baginya. Mungkin karena ibu terbiasa menceritakan dongeng-dongeng yang tak ada kejelasannya dan tak bisa dijelaskan. Atau mungkin sangat mengada-ada, jika ada seorang anak yang mau meninggalkan ibunya hanya demi seekor ular yang kesepian.

    Aku mengejarnya, berusaha menjelaskan bahwa bila ibuku yang menceritakannya secara lansung, ia pasti akan lebih mengerti dan antusias mendengarkan. Aku mengajaknya bertemu ibuku. Lalu Utari mengatakan bahwa ia ingin sekali meloncat ke bawah ngarai itu. Bukan untuk menemukan perempuan cantik dan rumah yang serba kuning atau segala kebohonganku, melainkan benar-benar berharap ada ular besar yang bersedia menganga untuknya. Hingga tak pernah ada lagi yang bisa menemukannya dimanapun.

Aku diam saja. Mungkin Utari bukan temanku, atau ia tidak pernah menganggapku sebagai teman. Dia bahkan tidak berfikir bagaimana perasaanku jika harus kehilangan teman seperti dirinya. Untuk ukuran seorang teman Utari memang bukan teman yang baik. Ia tak pernah mau mendengarkan cerita temannya, ia hanya ingin di dengarkan. Tapi tetap saja aku akan merindukannya sebab dia satu-satunya teman yang bisa aku sebut teman. Meskipun tak pernah ingin mendengarkan setidaknya Utari tidak pernah berkhianat dan tidak pernah berbohong.

Utari naik kepermukaan air. Ia menari-nari dengan sangat tenang, lama sekali. Tariannya lebih indah dari ballerina di penjuru negeri manapun. Perlahan-lahan Utari naik ke atas. Barisan awan-awan pagi seperti anak tangga yang menopang kaki lembutnya satu persatu. Utari semakin tinggi, ia berputar-putar di angkasa lepas lalu berhamburan menjadi banyak kupu-kupu. Warna warni. Utari berpendaran mengikuti cahaya matahari yang terbit pagi itu. 

 Ia benar-benar kupu-kupu.


Penulis, 004ZW


Comments