FESTIVAL TANAH OMBAK: MELATIH NALAR SEJAK DINI MELALUI CERITA RAKYAT

        


 Malin Kundang merupakan legenda populer asal Sumatera Barat tepatnya di Pantai Air Manis. Legenda ini pun berkembang dan diadaptasi ke dalam bentuk seni lain. Selain Wisran Hadi melalui naskah drama berjudul sama, salah satu yang paling populer adalah karya seniman Dasril Bayras dan Ibenzani Usman lewat karya relief batunya. Relief batu berbentuk pecahan kapal dan sosok manusia yang menggambarkan Malin Kundang itu pun hingga saat ini masih setia menjadi daya tarik wisatawan di Pantai Air Manis sejak 1980-an. Kini relief itu berlomba dengan zaman, terjepit di antara pondok-pondok mata pencarian warga sekitar dan jalur lintas ATV yang terkesan dipaksakan. 

        Dewasa ini, berbagai perspektif pun bermunculan. Generasi-genarasi baru lahir dengan banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban ideologis. Bagaimana mungkin seorang ibu tega mengutuk anaknya menjadi batu? Bagaimana jika bukan Malin yang durhaka melainkan ibunya? Hal ini tentu saja tidak lepas dari berbagai adaptasi dan tulisan-tulisan baru yang menjadi tolak ukur untuk berfikir lebih masuk akal. Suatu kebenaran pada sebuah legenda tidak sepenuhnya dapat diamini. Sebagian orang mempercayai peristiwa tersebut apa adanya dan sebagian lagi beranggapan hanyalah bualan semata dengan pesan moral di dalamnya. Terlepas dari semua itu, Malin Kundang dulu atau pun Malin masa kini terus menyiratkan hubungan antara ibu dan anak, pesan dan moral, juga Minang dan rantau.

         Penerimaan seperti ini adalah sebuah pembelajaran yang baru. Anak-anak harus menerima dengan akal sehat tanpa menelan mentah-mentah saja cerita yang beredar selama ini. Cerita yang lebih masuk akal, baik alur, maupun kebahasaan yang digunakan dalam cerita tersebut.

        Mendongeng seharusnya menjadi wadah bagi anak-anak dalam melatih pola pokir mereka, melatih nalar. Ada beberapa hal yang sekiranya sangat perlu diperhatikan ketika mendongeng atau bercerita pada anak-anak:

1. Pola Bahasa

    Meminimalisir penggunaan bahasa yang cenderung kasar dan tidak layak digunakan pada anak-anak. menurut Bg Obe seorang pendongeng dari Sumatera Barat, anak-anak tidak boleh berfikir terlalu liar dan ganas saat dihadapkan pada sebuah kalimat. Sebagai contoh, ketika memakai frasa "bersimbah darah", cukup aneh dan tidak relevan membiarkan mereka menyerap kata tersebut sambil membayangkan ada seseorang yang bersimbah darah. Maka kata-kata yang demikian perlu diganti menjadi yang lebih halus, yang tentunya tidak memicu adegan tragis di dalam kepala mereka.

2. Properti

    Ketika mendongeng atau bercerita, anak-anak kerapkali dibebankan dengan berbagai macam artistik dan printilan-printilan kecil yang menyibukkan mereka. Tak jarang pula mereka akan kebingungan menggunakan berbagai macam artistik itu. Properti harus diperhatikan sedetail mungkin, artinya penggunaan properti seharusnya membangun cerita bukan merusak jalan cerita. Tidak membebani, membingungkan, menyibukkan pendongeng.

3. Gaya/Gestur

    Bicara gestur maka akan berhubungan dengan bagaimana seorang penutur menggunakan mimik dan tubuhnya ketika bercerita. Untuk membiarkan para penutur cilik itu bertutur sesuai dengan umur mereka adalah sesuatu yang sangat penting. Seringnya, anak-anak dipaksa untuk menerima bahasa dan gestur orang dewasa dalam bercerita. Mereka digiring untuk mengikuti siapa yang melatih mereka, bukan digiring untuk memaparkan apa yang ada dalam kepala penutur itu sendiri.

4. Repetisi Kejadian dan Konflik

    Mendongeng seharusnya menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan, menghibur dan tidak memerlukan daya tangkap yang terlalu berat, apalagi jika bicara dalam kontejs anak-anak. Dongeng adalah sebuah fiksi. Sebagai orang dewasa kita lebih bisa mengasah nalar anak-anak dengan menyajikan fakta di sekitar mereka dan membatu untuk singkron dengan cerita yang akan mereka bawakan. Seperti pertanyaan-pertanyaan yang muncul, "benarkah ibu semudah itu mengutuk anaknya hanya karena anaknya tak mengenalnya lagi?" "benarkah seorang anak tidak mampu mengenal ibunya ketika mereka sudah berpisah lama?" "Benarkah ada seseorang yang menjadi batu?" 

        Banyak cara lain untuk menakuti, memberi pelajaran, nasihat kepada anak-anak agar tidak durhaka selain menjadikan mereka "malin kundang" dengan kutukan batu.


Kikandrya Nara Cartenz. 6 tahun dalam
                        Festival Tanah Ombak 19 September 2023 sebagai bintang tamu. Ketika itu Kikan kecil menceritakan kisah Malin Kundang versinya sendiri. Dia berimajinasi bahwa Malin ternyata punya seorang ayah yang juga pergi merantau saat malin masih kecil. Dari situlah pikran merantau dalam diri Malin dimunculkan. Dia dibebaskan bercerta sesuai umurnya, gayanya lugu dan malu-malunya. Tanpa menyalahkan, mementori. Dongeng itu mengalir dalam perasaan dan nalarnya sendiri.



004ZW

Comments